02 Oktober 2009

Jihad Bukan Keras

Jihad tidak melalui kekerasan
Persoalan jihad, terorisme, mati syahid dan perjuangan menegakkan akidah agaknya saling bertubrukan saat orang membicarakan kematian Amrozi dan kawan-kawan. Apa sesungguhnya jihad menurut Islam? Apakah Indonesia merupakah daerah perang untuk menegakkan keislaman? Mengapa jihad kerap disalahpahami? Berikut petikan perbincangan dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin di sela-sela Ijtima Sanawi Dewan Pengawas Syariah, Dewan Syariah MUI di Hotel Mercure Ancol, (18 Nop 08).
Eksekusi terhadap Amrozi dan kawan-kawan diikuti oleh pro-kontra tentang pemaknaan jihad dan mati syahid. Apa komentar Anda tentang hal itu?

Pro-kontra muncul akibat terjadi distorsi. Distorsi dalam berbagai hal dalam mayarakat dan umat Islam sehingga terjadi pemaknaan dan penilaian yang salah terhadap ajaran Islam. Kalau kita merunut pada fatwa MUI, maka ada perbedaan yang sangat prinsip antara melakukan teror dan melakukan jihad.

Jihad itu ada sasarannya. Ada wilayah untuk jihad yang aktivitasnya berperang. Para pelaku jihad adalah mujahid. Jika dia tewas dalam pertempuran, akan disebut syahid. Adapun teror adalah aktivitas yang mengganggu kedamaian suatu wilayah. Semula keadaan aman, tentram dan damai, lalu muncul serangan teror yang membuat suasana yang menakutkan. Masyarakat takut karena siapa saja bisa dengan mudah menjadi sasaran teror. Banyak orang tak berdosa menjadi korban. Belum lagi kerusakan-kerusakan yang begitu besar membutuhkan dana untuk me rehabilitasi nya.
Ada juga dampak-dampak sosial ekonomi lain yang dialami negara yang jadi korban aksi teror. Ini beda dari peperangan. Dalam peperangan kan ada sasaran yang jelas, yaitu tentara musuh. Karena teror ini membuat situasi kacau, maka pelakunya tidak bisa kita katakan syahid. Bila niatnya benar untuk membela agama ya cara yang dilakukan ya harus benar. Bukan dengan cara teror terhadap negeri ini. Mengapa kok tidak dengan berdakwah?

Namun sekali lagi, hal-hal yang berhubungan dengan niat para pelaku, apakah dia meniatkan untuk berjihad atau apa, kita tidak tahu. Hanya Allah yang tahu. Urusan dia dengan Allahlah. Dari sudut pandang ini saja muncul ro-kontra syahid atau tidakkah mereka itu.
Terlepas apa yang telah dilakukan Amrozi dan kawan-kawan kita serahkan sepenuhnya kepada Allah untuk menghakiminya.
Mengapa kasus Amrozi dan kawan-kawan tidak juga dijadikan pelajaran oleh masyarakat kita, karena hingga kini masih saja ada orang yang tertarik untuk melakukan cara-cara mereka?

Ya itu yang saya katakan tadi, bahwa pada umat kini terjadi berbagai distorsi. Mereka yang mengalami distorsi ini jadi mudah dimangsa kelompok-kelompok yang memang menghendaki cara-cara kekerasan, cara-cara radikal. Kelompok yang mengader ini memang mengambil ayat-ayat jihad, ayat-ayat yang membakar semangat untuk memusuhi orang kafir, untuk diterapkan di semua tempat dan sembarang waktu.

Juga dipertentangkan berbagai faktor seperti kesenjangan ekonomi dan berbagai kesenjangan lainnya antara umat Islam dengan yang lain sehingga muncullah semangat untuk memerangi mereka. Padahal ayat-ayat tersebut hanya bisa diterapkan pada tempat dan waktu tertentu. Ada upaya mereka untuk memahamkan secara tekstualnya saja, tanpa kontekstual.
Sebetulnya ada juga bahaya distrosi dari paham liberalisme, juga sesatisme seperti Ahmadiyah dan Al Qiyadah sehingga umat bingung karena diserbu paham tiga paham tadi, yang menyimpang dari paham yang suda baku diajarkan ulama kita, yang moderat. Berbagai distorsi ini yang perlu kita luruskan.

Ustad Abu Bakar Ba’asyir mengatakan Amrozi dan kawan-kawan mati syahid. Mengapa MUI tidak mengeluarkan pendapat semacam yang meng-counter untuk meluruskan masalah itu?
Kita tetap berpegang pada fatwa MUI 2003. Kita sudah merasa cukup dengan fatwa itu. Kita tidak perlu mengeluarkan fatwa baru untuk meng-counter, wong masalahnya sama kok. Fatwa itu bukan pendapat perorangan, tapi merupakan hasil diskusi lebih dari seratus ulama. Dan ini untuk tujuan yang lebih besar, yaitu mencegah terjadinya teror akibat pemahaman agama yang terdistorsi, Jadi bukan hanya untuk Amrozi dan kawan-kawan.

Ijtima Ulama-ulama di Komisi Fatwa MUI se-Indonesia dalam fatwanya tahun 2003 yang untuk menyikapi tentang bom bunuh diri sudah tegas. Harus dibedakan antara bom bunuh diri dengan tindakan mencari kesyahidan. Kalau dalam konteks daerah perang dan menghadapi musuh yang berkekuatan jauh lebih besar, maka bom bunuh diri yang ditujukan kepada pasukan musuh bisa dibenarkan. Tapi ini tidak bisa dibolehkan untuk konteks Indonesia yang seperti ini keadaannya. Jadi kalau mau pakai cara itu ya di medan pertempuran seperti di Afghanistan atau Palestina misalnya.

Setelah Amrozi dieksekusi saya dan pimpinan MUI juga dimintai pendapat. Kami sampaikan fatwa tahun 2003, silakan masyarakat menilai. Tapi repotnya itu kalau kita berbeda dari yang mengatakan mereka syahid, kita kok malah dianggap musuh, tidak membela umat yang semangat melakukan jihad.
Padahal posisi kami tidak untuk membela atau tidak membela, namun kami ingin memosisikan secara proporsional. Kalau mati syahid itu kan berarti tindakannya benar. Mengebom dan meneror itu kan berarti benar. Kita katakan cara-cara seperti itu tidak benar dilakukan di negeri ini yang suasananya damai. Mengebom dan meneror merupakan bentuk tindakan keputusasaan dan mencelakakan diri sendiri dan orang lain, jadi tidak bisa dibenarkan di negeri ini. Namun demikian kami menyampaikan pendapat kami dengan baik-baik, dengan datar saja, agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. Ada yang mengatakan mereka itu syahid ya silakan itu kan juga pendapat.

Sebenarnya seperti apa jihad yang ideal untuk kondisi seperti Indonesia?
Jihad dalam pengertian yang kita pahami secara tepat adalah dalam pengertian ishlah. Atau melakukan perbaikan-perbaikan terhadap umat dan lingkungannya. Tidak melalui cara-cara yang berupa kekerasan. Perjuangan yang kita lakukan ya dengan dakwah. Dengan perkataan dengan perbuatan, atau langkah nyata yang segera dirasakan manfaatnya oleh umat.
Sekali lagi Indonesia tidak sedang dalam perang yang seseungguhnya. Kita memang sedang berperang melawan kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, juga perang melawan korupsi. Perang seperti inilah yang membawa kemaslahatan bagi umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia.

Selain itu kita juga sudah mempunyai kesepakatan nasional untuk hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain secara damai. Tetapi masing-masing agama boleh mengembangkan agamanya namun dengan cara-cara yang demokratis, dengan cara menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Saat ini muncul pemikiran bahwa MUI bukan pemilik tunggal otoritas fatwa,sehingga banyak pihak merasa biasa saja mengeluarkan pendapat yang berbeda dari fatwa MUI?
Perlu saya awali jawaban saya dengan fakta bahwa MUI sudah gencar memberikan fatwa dalam rangka menjaga umat dari pengaruh-pengaruh radikalisme, liberalisme hingga sesatisme.

Kesungguhan ini sebagai jawaban bahwa MUI tidak akan menolerisasi berbagai hal yang dapat mengganggu umat. Langkah MUI ini tentunya mendapat tantangan, mendapat perlawanan dari pihak-pihak yang mungkin dirugikan oleh fatwa kami.
Namun biar fair dalam masalah ini, kita kembalikan kepada umat. Ternyata banyak yang bisa menerima otoritas fatwa ada pada MUI.
Menurut Anda mengapa gempuran tiga isme tersebut di Tanah Air demikian meningkatnya akhir-akhir ini, ini apakah sebuah kewajaran atau faktor lain?
Sebenarnya radikalisme, liberalisme dari luar, sementara yang sesatisme ini ada yang dari luar ada pula yang dari lokal.

Menurut saya apa yang terjadi saat ini bukanlah sebuah kebetulan. Tapi ini lebih merupakan upaya-upaya konspirasi untuk mengacaukan kita.
Ini yang sangat kita khawatirkan, yaitu terjadinya konflik antar umat Islam, karena perbedaan paham dan penyesat¬an-penyesatan. Kami menduga kuat adanya konspirasi untuk melemahkan umat Islam secara sistematis.

Pekerjaan membendung isme-isme ini memang pekerjaan yang besar dan sangat berat, oleh karenanya saya selalu mendorong agar MUI selalu berani bersikap, berani menyatakan kalau ada penyimpangan, ada yang salah, ada yang sesat. (mui.or.id)

Sumber :
Fiqih Ahkam
Oleh: Tim dakwatuna.com

0 komentar:

Posting Komentar